Sabut keriting dimasukan kedalam oven. (FOTO : Cimed/Wagino) Bagi sebagian kalangan mungkin nama Sebutret kedengarannya masih terasa asing ditelinga atau bahkan tak bisa membayangkan sama sekali bentuknya seperti apa. Hal itu wajar saja, pasalnya sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam tepes (kulit kelapa, red) hanya digunakan sebagai bahan bakar dan sebagian lagi digunakan untuk membuat sapu, kesed, sikat, tambang dan barang anyaman lain yang kebanyakan ditangani oleh para pengrajin dan industri rumahan skala kecil. Kalaupun ada yang mengolah secara mekanis, kebanyakan sabut hanya dibuat serat lurus (fibre) yang dibuat begitu saja keluar negeri, tanpa diolah menjadi barang jadi. Demikian pula, karet rakyat oleh para petani karet hanya dibuat lumb dan sebagian dibuat RSS (Rubber Smoke Sheet) yang selanjutnya dijual kepada pedagang perantara. Akibatnya petani hanya menerima nilai jual yang relatif rendah disbanding dengan pengusaha barang jadi yang berbahan baku karet. Kini, meski dengan teknologi sederhana yang dipadu dengan lateks karet alam dapat menjadi produk yang bernilai tinggi bahkan berkualitas ekspor. Adalah H. Karsono, warga Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja yang telah mengembangkan dan memproduksi Sebutret sejak Agustus 2007. Ide pembuatan Sebutret berawal dari temuan serat sabut kelapa yang digunakan jok mobil mercy (Mercedes Benz, red) tua. Sementara itu di Indonesia sampai saat ini belum banyak (jika tak dapat dikatakan belum ada) yang memproduksi serat sabut kelapa keriting. Sedang bahan baku berupa kulit kelapa dan lateks karet alam yang dihasilkan perkebunan rakyat berlimpah. Hal itulah yang mendorong Karsono bersama PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) AN-NUR untuk memanfaatkan seoptimal mungkin sehingga memperoleh nilai tambah dari kedua bahan baku tersebut cukup tinggi. Selain itu, warga belajar PKBM peserta program Kejar Paket C, program KF (Keaksaraan Fungsional) dan program Kewirausahaan Desa (KWD) atau Life Skill yang tergolong penganggur dapat memanfaatkan kegiatan pengolahan sebutret sebagai wahana pelatihan atau bekerja, yang sebelumnya telah dikirim ke Balai Penelitian Tanaman Karet (BPTK) di Bogor untuk mengikuti pelatihan pembuatan sabutret. Melihat potensinya yang cukup besar awal tahun 2007 Menteri Perindustian memberi bantuan mesin. Pada pertengahan 2008 Karsono mengikuti pameran, dan Sebutret mendapat sambutan luar biasa. Pesanan pun mengalir baik dari dalam maupun luar negeri seperti Amerika, Jepang, Korea, China, Belanda dan Australia. Namun karena produksinya masih terbatas saat ini baru bisa melayani konsumen dalam negeri. Kapasitas produksi baru sekitar 20 hingga 30 meter kubik per bulan, sementara permintaan dari luar negeri ada yang mencapai 150 meter kubik per bulan. Kendala utama yang saat ini dihadapi sehingga belum mampu memenuhi pesanan yakni terbatasnya SDM, peralatan mesin dan modal. Untuk produksi 30 meter kubik saja dalam satu bulan setidaknya dibutuhkan modal sekitar Rp 600 juta. Dengan asumsi biaya produksi sekitar Rp 2 juta per kubik. Proses Pembuatan Sebutret Pembuatan Sebutret meliputi empat proses yakni proses pengolahan sabut kelapa menjadi serat keriting, proses pengolahan disperse kimia, proses pengolahan lateks dan proses pembuatan sebutret. Setelah digiling, serat disortir untuk memisahkan serat halus dan kasar. (FOTO : Cimed/Wagino) Proses pengolahan disperse kimia, pada proses ini padatan kimia ditimbang sesuai formula. Selanjutnya kedalam guci keramik perpeluru, dituangkan satuan padatan kimia sesuai ukuran yang dibakukan dan ditambah air. Setelah itu keramik berisi padatan kimia dan air diputar selama 24 jam pada mesin pengocok (ball mill disperse) supaya senyawa. Kemudian senyawa cairan kimia dituang atau disimpan dalam keadaan tertutup dalam bejana plastic dan siap digunakan untuk proses pengolahan lateks karet alam. Proses pengolahan lateks, lateks hasil sadapan dikebun disaring, ditimbang sesuai kebutuhan. Sesuai formula, larutan kimia dituangkan kedalam lateks kebun untuk memisahkan latkes dari air, melalui pendidihan atau sentrifuse. Selanjutnya adonan lateks berkimia diaduk dengan mesin streerer (homogenizer) minimal selama 4 jam agar terjadi senyawa yang diharapkan. Adonan yang sudah senyawa diperam tertutup selama seminggu (7 hari) agar terjadi pemisahan antara air dan lateks pekat 60%. Kemudian lateks pekat 60% ditambah dengan larutan kimia sesuai formula yang dibakukan menggunakan homogenizer selama 4 jam, maka jadilah kompon. Mengurai pintalan serat menjadi serat keriting. (FOTO : Cimed/Wagino) Sebutret dirapikan dan diberi cover sesuai dengan pesanan. Produk jadi sebutret yang sudah banyak diproduksi diantaranya digunakan bahan jok untuk meubelair, mobil, pesawat dan kapal. Berbagai bentuk kasur mulai dari kasur lipat, bayi, kasur biasa, bantal dan guling. Matras untuk alas olahraga lantai. Bahan peredam suara studio, karpet lantai. Juga untuk kebutuhan dapur seperti sponge cuci gerabah dan bahan lainnya. Keunggulan Sebutret diantaranya bobot ringan dan poreus karena rongga pori-porinya lebar. Tidak menimbulkan panas, walau lama diduduki atau ditiduri. Tidak kempis atau berlekuk, sepanjang tidak dipanasi lebih dari 90OC. Keriting serat membantu pijat refleksi selama digunakan. Aroma karet asli dan matang, serta dapat menghalau alergi pernafasan. Serat keriting yang sudah ditata dalam cetakan disemprot kompon lateks menggunakan gunsprayer. (FOTO : Cimed/Wagino) Tak salah lagi, kedepan Sebutret menjadi salah satu produk unggulan penghasil devisa di Cilacap khususnya dan juga Indonesia pada umumnya. |
0 komentar:
Posting Komentar